30 C
Medan
Jumat, Oktober 18, 2024

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Stabil

Berita HariIni

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Jakarta (buseronline.com) – Sumber penerimaan negara terbesar dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah penerimaan perpajakan.

Pajak yang dibayarkan berbagai lapisan masyarakat, baik orang pribadi maupun badan, memiliki fungsi penting bagi APBN untuk membiayai operasional pemerintahan, program-program pembangunan serta subsidi dan bantuan sosial (bansos).

Sejak tahun 2021, penerimaan pajak negara ini mengalami pertumbuhan yang baik bahkan melampaui target penerimaan yang ditetapkan dalam Perpres APBN.

Penerimaan pajak tahun 2022 lalu bahkan mengalami pertumbuhan sebesar 34,3 persen dibanding tahun 2021, dengan jumlah sebesar Rp1.717,8 triliun atau 115,6 persen dari target dalam Perpres 98/2022.

Realisasi penerimaan ini tentu menjadi sebuah kabar gembira bahwa pemulihan ekonomi nasional yang dicanangkan pemerintah sejak era pandemi telah menemui titik terang.

Berbagai sektor telah mampu pulih, bergerak, dan menyumbang penerimaan negara serta pertumbuhan ekonomi nasional.

Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil pada kisaran angka 5 persen pada tahun 2022 terjadi pada banyak sektor, seperti pertanian, pertambangan, manufaktur, konstruksi, perdagangan, transportasi.

Kemudian, akomodasi, serta makanan dan minuman. Hal tersebut disampaikan Menkeu RI dalam keterangan resmi di Jakarta.

Namun demikian, mungkin masih ada anggapan bahwa pajak yang dibayarkan kepada negara sebagian besar hanya digunakan untuk membayar gaji ASN saja.

Apalagi dengan berlakunya pajak progresif, seperti pajak kendaraan dan pajak penghasilan (PPh), ada asumsi bahwa orang kaya/lebih mampu harus membayar lebih besar sementara mereka tidak menikmati manfaat langsung dari pajak-pajak yang telah mereka bayarkan.

Dalam kebijakan PPh progresif Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menyebutkan bahwa terdapat beberapa penggolongan penghasilan kena pajak dengan tarif 5 persen untuk penghasilan hingga 60 juta, 15 persen untuk penghasilan Rp60-250 juta, 25 persen untuk penghasilan Rp250-500 juta.

Selanjutnya, 30 persen untuk penghasilan Rp500-5 miliar, dan 35 persen untuk penghasilan di atas Rp5 miliar. Penggolongan tarif ini sekilas terlihat tidak adil dan memberatkan. Namun mungkin tidak sepenuhnya demikian.

Keadilan dalam konteks ini perlu dipahami secara proporsional, bahwa kalangan yang berpenghasilan lebih besar juga perlu memberikan kontribusi yang lebih besar.

Perlu diingat pula bahwa perhitungan pembayaran PPh tidak secara langsung berdasarkan penghasilan bruto. Masih ada komponen pengurang, seperti biaya jabatan, iuran pensiun, iuran BPJS, dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Jadi walaupun secara persentase seolah besar namun dari perhitungan PPh yang benar, maka besaran rupiah pajak yang dibayarkan tidak sebesar yang dibayangkan di awal.

Berita Lainnya

Berita Terbaru