Jakarta (buseronline.com) – Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Pendidikan Tinggi yang digelar di Jakarta, menjadi ajang berbagi praktik baik antar sesama peserta, Selasa (3/10/2023).
Selain itu, di akhir acara sekitar 500 peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut yakni Ketua/Sekretaris Satgas dan perwakilan anggota Satgas dari unsur mahasiswa pada 250 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta menghasilkan rekomendasi bersama guna lebih mengoptimalkan implementasi PPKS di wilayahnya masing-masing.
Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Chatarina Muliana Girsang menyampaikan bahwa Rakornas diharapkan dapat menjadi wadah untuk seluruh Satgas PPKS bertukar informasi dan membangun jaringan kerja sama yang baik demi tujuan bersama yaitu penghapusan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Kisah suka duka peserta di antaranya datang dari Mahasiswa Universitas Madako Tolitoli, Annisa Nur Fitriani. Ia menyampaikan bahwa seringkali teman-teman mahasiswa merasa takut dan malu untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya. Ini membuat Satgas kesulitan dan kadang menghambat proses pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Annisa berpendapat mungkin juga muncul pemikiran bahwa melaporkan kasus kekerasan seksual tidak akan mendapatkan keadilan atau perlindungan yang memadai. Hal ini juga dapat mempengaruhi rendahnya tingkat kepercayaan pelapor untuk melapor secara internal di Satgas perguruan tinggi. Padahal ia meyakini perlunya menumbuhkan kepercayaan bagi para penyintas untuk melaporkan kejadian yang dialaminya kepada Satgas.
Kemudian, Sekretaris Satgas Institut Seni Indonesia Padang Panjang Yuliarni juga menyampaikan bahwa sampai saat ini, pihaknya belum menyediakan sarana prasarana maupun pembiayaan untuk operasional kegiatan PPKS sehingga pelaksanaan kegiatan terkait hal tersebut masih dirasa sulit.
“Mungkin ini ada kaitannya dengan kurang kuatnya komitmen pimpinan kami terhadap bidang ini. Kami ingin pimpinan kami lebih peduli dan menjadikan bidang ini lebih prioritas,” ungkap Yuliarni.
Lalu, ada Mahasiswa Universitas Terbuka, Gladys Dara Marsha Fenumal yang bercerita pengalamannya. Universitas Terbuka merupakan kampus yang sangat besar. Jangkauannya tidak hanya terpusat di Jakarta melainkan tersebar hampir di seluruh daerah di Indonesia dan luar negeri, serta model pembelajaran yang berbasis daring menjadi tantangan tersendiri bagi Universitas Terbuka dibanding kampus lain.
“Kondisinya, anggota Satgas tidak mewakili seluruh UT di daerah sehingga menyebabkan pendampingan yang terbatas secara daring, ataupun perlunya kunjungan dengan biaya yang tidak sedikit serta keterbatasan SDM untuk memantau secara langsung ke daerah terdekat di mana korban (ataupun pelaku) berada,” jelas Gladys Dara.
Kondisi yang hampir senada juga disampaikan Kepala Satgas Universitas Kristen Satya Wacana, Wilson MA Therik. Ia mengaku sebagai Satgas dituntut untuk bekerja 24 jam jam nonstop karena harus merespons dan menindaklanjuti seluruh aduan/informasi terkait kekerasan seksual kapanpun dan di manapun.
“Dalam penyelesaian dan penanganan laporan kekerasan seksual, kami dituntut untuk bertindak profesional namun Satgas itu terdiri dari dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa, yang masing-masing memiliki tugas utamanya. Hal ini membuat kami kesulitan membagi waktu, pikiran, dan tenaga dalam menangani kasus yang masuk,” urai Wilson.
Di sisi lain, Sekretaris Satgas Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Veronica Dwi Jani Juliawati, mengatakan pentingnya dukungan dari pihak kampus dalam menjalankan rutinitasnya sebagai Satgas. “Atas upaya kami selama ini, kami sudah memperoleh dua penghargaan yaitu, Apresiasi Inspiratif dan Anti Kekerasan Seksual. Maka dari itu baiknya kami berharap ada anggaran dan fasilitas dari kampus untuk penanganan kasus, contohnya untuk mendapatkan psikolog dan pengacara,” ujarnya.
Rakornas ini bertujuan untuk membangun kesadaran kolektif dan mengarahkan langkah konkret guna menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, adil, dan bebas dari ancaman kekerasan seksual. Oleh karena itu, pada akhir acara, dibacakan hasil rekomendasi dari para peserta.
Rekomendasi tersebut mengatur perlu disusunnya peraturan teknis pelaksanaan PPKS di setiap perguruan tinggi dengan mengacu pada Permendikbudristek dan Persesjen. Di dalamnya mengatur lebih lanjut tentang prosedur operasional standar termasuk pembagian jam dan porsi kerja yang jelas antar anggota Satgas.
Di samping dukungan pimpinan perguruan tinggi dalam menyediakan sarana dan prasarana serta pembiayaan operasional, diperlukan juga komitmen dari seluruh pimpinan perguruan tinggi dalam menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan Satgas. Lebih lanjut, disampaikan pula rekomendasi untuk pemberian penghargaan atas kinerja Satgas PPKS, baik dari unsur dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa. Selain itu juga diperlukan peningkatan kompetensi bagi Satgas.
Di akhir acara, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyampaikan rasa bangganya berada di tengah-tengah Satgas karena jarang sekali ada tugas yang menurutnya semulia tugas sebagai Satgas PPKS.
“Saya yang merasa bangga dan hormat di sekitar ini, maka dari itu jangan putus asa terus berjuang dan selalu semangat untuk memerdekakan perguruan tinggi kita dari kekerasan seksual,” pungkas Nadiem. (R)