Maumere (buseronline.com) – Semangat dan dedikasi untuk bergerak bersama memajukan pendidikan melalui gerakan Merdeka Belajar menjadi catatan penting dalam diskusi antara Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen), Iwan Syahril bersama Guru Penggerak Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, di Capa Resort Maumere. Diskusi yang dihadiri oleh puluhan Guru Penggerak yang sudah diangkat menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah di Kabupaten Sikka tersebut berlangsung dalam suasana hangat diisi dengan berbagai cerita menarik mengenai perjuangan mereka melakukan transformasi pendidikan.
Elisabet Gaso, Guru Penggerak Angkatan 1 menceritakan bagaimana lika-liku perjuangannya mengikuti Pendidikan Guru Penggerak, mulai dari penolakan kepala sekolah terhadap keikutsertaan dalam program tersebut, praktik baik yang dilakukannya, hingga usahanya untuk membuktikan bahwa program yang sedang diikutinya akan berdampak baik pada satuan pendidikan.
“Setelah dikasih izin (mengikuti Pendidikan Guru Penggerak), nyatanya kepala sekolah tidak rela. Merdeka Belajar itu apa sih? Guru Penggerak itu apa? Bergerak ke sana kemari. Tapi saya selalu berprinsip setiap program yang diluncurkan pemerintah pasti ada niat khusus. Jadi saya terus belajar,” kenang Elisabet yang saat ini sudah menjadi seorang pengawas Sekolah.
Penolakan juga datang saat Elisabet akan melakukan aksi untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di sekolah TK tempat ia mengajar. Tapi ia tidak patah arang, ia terus melakukan aksi dan praktik baik yang dipelajarinya selama pendidikan di sekolah tempatnya mengajar, sampai kepala sekolah mengakui bahwa program yang sedang diikutinya benar-benar telah membuat perubahan di sekolahnya.
“Saya ikuti betul-betul Program Guru Penggerak, banyak aksi dan praktik baik yang saya lakukan di sekolah, jadilah diakui. Pelatihan yang saya ikuti berjalan mulus sampai lulus sembilan bulan mengikuti pendidikan. Saya diangkat jadi pengawas, saya berupaya bergerak dengan niat yang baik, banyak sekolah yang sudah mengenal apa itu Merdeka Belajar di depan kecamatan di Sikka,” terangnya.
Elisabet mengakui, dengan mengikuti Pendidikan Guru Penggerak, ia bisa saling belajar dan berbagi bersama guru-guru dari satuan pendidikan jenjang berbeda. Kekompakan bersama teman-teman seangkatan untuk saling berbagi pengetahuan yang dimiliki terasa begitu berharga. “Waktu itu saya hanya punya modal pembelajaran sosial emosional, karena itu ada di TK, dan kami berkolaborasi. Saya waktu itu tidak bisa buat video, saya belajar pada teman-teman yang jenjangnya lebih tinggi,” katanya.
Ana Aprila. Guru Penggerak yang saat ini menjadi pengawas SMP turut mengakui apa yang sudah ia terima dalam Pendidikan Guru Penggerak sangat membantunya baik ketika menjadi guru maupun saat menjadi pengawas. Prosesnya selama mengikuti program tersebut telah menyadarkannya akan berbagai hal. Mulai dari kesadaran mengenai tujuan menjadi seorang guru, sampai pada kesadaran bahwa perubahan zaman dan percepatan teknologi harus membuat guru berbenah dan berubah.
“Saya benar-benar merasakan manfaatnya, (hal itu) menjadikan saya guru yang mempunyai motif altruistik, tulus dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Selanjutnya, saya juga menjadi guru yang senang belajar. Saya berpikir, kalau kita tidak mengikuti perubahan, perubahan itu akan meninggalkan kita,” kata Ana.
Ana juga mengisahkan, ketika mengikuti Pendidikan Guru Penggerak, ia diamanahkan menjadi pelaksana tugas (Plt.) kepala sekolah di sekolah yang baru berdiri. Salah satu materi yang dirasa sangat membantunya saat mengemban amanah itu adalah pengelolaan program berdasarkan aset. Dari materi itu, ia berusaha menerapkan pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman untuk melahirkan murid berkarakter Profil Pelajar Pancasila.
“Saya berusaha mengajak guru untuk senang belajar dan memiliki nilai dan peran sebagai Guru Penggerak. Di sana guru-gurunya honor semua, tapi saya bangkitkan semangat mereka, ada spirit dari Guru Penggerak yang memampukan saya untuk mengajak dengan senang hati guru-guru honor itu (untuk lebih mendalami) Kurikulum Merdeka,” kenang Ana sewaktu ia menjadi Plt. Kepala SMP Negeri 46 Nangahale.
“Kita belajar dibantu oleh PMM (Platform Merdeka Mengajar), kita jadi senang belajar. Belajar Kurikulum Merdeka itu apa, apa gunanya Merdeka Belajar, dan terkait refleksi tahun berikutnya saat mendaftar Kurikulum Merdeka kami direkomendasikan untuk memilih Mandiri Berbagi,” terang Ana. Sekolahnya merupakan satu-satunya di Kabupaten Sikka yang direkomendasikan untuk memilih opsi Mandiri Berbagi dalam penerapan Kurikulum Merdeka.
Spirit dari Guru Penggerak yang ditularkan kepada guru-guru di sekolah tersebut juga telah membuat guru-guru di sekolahnya gemar untuk mengakses PMM di mana saja, kapan saja. “Mereka bahkan merancang kelasnya berbentuk letter u. Pembelajaran berdiferensiasi mereka mulai dengan pemetaan kebutuhan. Guru Bimbingan Konseling melakukan asesmen. Waktu itu mereka melakukan asesmen inventori minat, kecerdasan majemuk. Tidak punya psikolog tapi kita inventori saja. Menanyakan hobi anak, cita-cita anak, lalu ditempel di dinding sebagai hiasan profil anak,” kenang Ana dengan bahagia.
Menanggapi beragam cerita praktik baik dari Guru Penggerak Kabupaten Sikka, Iwan Syahril mengatakan, meskipun sebagian besar Guru Penggerak sudah menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah, akan tetapi esensi para guru tersebut adalah seorang pendidik. Oleh karena itu, ia mengajak para Guru Penggerak yang sudah mendapat amanah dan jabatan lebih tinggi untuk tidak melupakan peran pentingnya sebagai pendidik generasi penerus bangsa.
“Menjadi tenaga pendidik itu adalah sebuah profesi. Profesi ini esensinya adalah mendidik. Peran struktural hanya sementara. Buatlah ekosistem Guru Penggerak yang sudah terbangun menjadi saling menguatkan,” kata Iwan sembari mengingatkan bahwa mereka yang belum mendapat amanah untuk tidak berkecil hati dan saling mendukung.
Iwan juga menegaskan bahwa Guru Penggerak harus saling menguatkan terlepas dari peran apapun yang diberikan. Kekompakan yang sudah terbentuk antarsesama Guru Penggerak di Kabupaten Sikka, harus menjadi pengingat satu sama lain bahwa tujuan seorang guru untuk mendidik generasi penerus jauh lebih berharga dibandingkan kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Dengan begitu, apapun persoalan yang dialami oleh masing-masing guru, akan lebih mudah untuk menemukan solusinya.
Sebelum mengakhiri, Iwan Syahril menegaskan bahwa Guru Penggerak dididik untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu, saat ekosistem membutuhkan sosok pemimpin untuk mengambil keputusan yang berpihak kepada murid, maka peran Guru Penggerak harus lebih menonjol. Meskipun perubahan menuju perbaikan di satuan pendidikan itu membutuhkan pengorbanan dan perjuangan. Iwan Syahril juga berpesan, pendidikan Indonesia harus menghilangkan paradigma yang paling unggul, tapi harus unggul bersama, dan saling membantu untuk maju bersama-sama.
“Kita butuh Ibu dan Bapak untuk menjalankan peran menjadi pemimpin di sebuah sekolah, atau pengawas untuk beberapa sekolah, sehingga ekosistem kita maju lebih baik secara bersama-sama,” pungkas Iwan. (R)