Jakarta (buseronline.com) – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI dr Imran Pambudi mengungkapkan bahwa prevalensi hepatitis B dan C di Indonesia telah menurun secara signifikan dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi hepatitis B turun dari 7,1% pada 2013 menjadi 2,4% pada 2023. Sementara, data WHO Global Health Observatory menunjukkan prevalensi hepatitis C menurun dari 1% pada 2013 menjadi 0,5% pada 2022.
“Dengan dukungan semua pihak, Indonesia telah berhasil menurunkan prevalensi hepatitis B dan C secara bermakna dalam 10 tahun terakhir,” katanya seperti dilansir dari Sehat Negeriku.
Menurutnya, penurunan ini didukung beberapa upaya strategis pemerintah. Upaya pertama adalah pencegahan penularan hepatitis B dari ibu ke anak melalui pemberian vaksin hepatitis B dan antivirus tenofovir.
Pada 2023, lebih dari 2,3 juta dari target 4,4 juta bayi baru lahir telah menerima imunisasi hepatitis B dalam waktu 24 jam setelah kelahiran.
Selain itu, pemberian antivirus tenofovir telah diinisiasi sejak 2022 dan secara bertahap dilakukan di seluruh Indonesia.
Pada tahap awal tahun 2023, pemberian antivirus dilakukan pada 22 layanan di 10 kabupaten/kota di 6 provinsi, dan tahap kedua pada tahun yang sama, layanan bertambah menjadi 158 layanan di 26 kabupaten/kota dan 17 provinsi.
Pada 2024, layanan akan diperluas hingga mencapai 1.410 layanan di puskesmas dan rumah sakit di seluruh Indonesia.
Upaya kedua adalah memperkuat surveilans dan penemuan kasus pada populasi berisiko tinggi, seperti ibu hamil, tenaga medis (named), dan tenaga kesehatan (nakes).
Pada 2023, sebanyak 3.358.549 ibu hamil diskrining hepatitis B, dengan 50.789 ibu hamil terdeteksi HBsAg reaktif. Di kalangan tenaga kesehatan, sebanyak 364.002 nakes dan named diskrining HBsAg.
Untuk hepatitis C, sejak 2017 hingga Juni 2024, sebanyak 967.330 individu berisiko tinggi telah menjalani skrining, dengan 42.292 orang dinyatakan positif antibodi Hepatitis C (anti-HCV).
Dari jumlah tersebut, hanya 67,4% yang melanjutkan ke pemeriksaan viral load (VL) untuk RNA HCV, dengan 16.327 orang memerlukan pengobatan.
Upaya ketiga adalah pengobatan. Pemerintah menyediakan obat Direct Acting Antiviral (DAA) untuk pengobatan hepatitis C, yang tersedia di 33 provinsi dengan tingkat keberhasilan mencapai 90%.
Sejak 2017 hingga Juni 2024, lebih dari 11.689 pasien telah memulai terapi pengobatan hepatitis C, dengan 8.364 orang menyelesaikan pengobatan dan 3.139 dinyatakan sembuh.
Meski prevalensi hepatitis telah menurun, dr Imran mengingatkan bahwa angka kasus di Indonesia masih tinggi. Menurut WHO, Indonesia menempati peringkat keempat di kawasan Asia Tenggara untuk kejadian dan kematian akibat penyakit liver.
“Tercatat baru 56 ribu yang didiagnosis, artinya masih banyak penderita hepatitis B yang tidak terdiagnosis,” jelasnya.
Ia berharap peringatan Hari Hepatitis Sedunia 2024 dengan tema “Bersama Lawan Hepatitis, Sekarang” dapat menjadi momentum untuk mengambil langkah nyata dalam memberantas hepatitis di Indonesia. Pemerintah berkomitmen untuk mencapai eliminasi hepatitis C pada tahun 2030.
Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, dr Andri Sanityos menambahkan bahwa hepatitis adalah peradangan hati yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti virus hepatitis A, B, C, D, dan E.
Hepatitis B dan C dapat berkembang menjadi kronis dan menyebabkan sirosis hati serta kanker hati. Pengobatan hepatitis B dan C kini lebih efektif dengan terapi antivirus dan DAA, yang menunjukkan tingkat keberhasilan tinggi dalam mencegah progresivitas penyakit. (R)