Eksistensi Restorative Justice dalam Sistem Pembaharuan Pidana dan Kaitannya dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2024
Oleh: Naomi Renata, Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Sistem peradilan pidana di Indonesia sedang mengalami transformasi fundamental seiring dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru tahun 2023 dan berbagai instrumen hukum pendukung, termasuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam konteks ini, restorative justice semakin mendapat tempat sebagai paradigma alternatif dalam penyelesaian perkara pidana, terutama dalam upaya mencapai keadilan yang lebih humanis dan mengedepankan pemulihan.
Paradigma Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Restorative justice adalah pendekatan yang berfokus pada pemulihan kerugian akibat tindak pidana, baik kepada korban, pelaku, maupun masyarakat. Paradigma ini bertolak belakang dengan pendekatan retributif yang mendominasi sistem pidana klasik, yang cenderung berorientasi pada penghukuman pelaku. Dalam restorative justice, penyelesaian perkara didasarkan pada dialog dan mediasi, dengan tujuan mencapai kesepakatan yang memuaskan semua pihak.
KUHP baru telah memasukkan elemen-elemen keadilan restoratif dalam beberapa pasalnya, seperti penyelesaian perkara melalui mekanisme non-litigasi, pemberian ruang bagi mediasi penal, dan pengaturan pidana alternatif. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma menuju sistem pidana yang lebih progresif dan inklusif.
PERMA Nomor 1 Tahun 2024 sebagai Landasan Operasional
PERMA Nomor 1 Tahun 2024 menjadi langkah konkret untuk mewujudkan restorative justice dalam praktik peradilan pidana. PERMA ini memberikan pedoman bagi hakim untuk mengadili perkara pidana dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Beberapa poin penting yang diatur dalam PERMA ini antara lain:
1. Kriteria Perkara yang Layak Diselesaikan dengan Restorative Justice
PERMA membatasi penerapan restorative justice pada perkara pidana tertentu, seperti tindak pidana ringan, pelaku anak, dan pelaku yang pertama kali melakukan tindak pidana (first offender). Hal ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan konsep restorative justice dalam perkara yang tidak layak.
2. Peran Hakim Sebagai Fasilitator
Hakim tidak hanya berperan sebagai pemutus perkara, tetapi juga sebagai fasilitator yang mendorong dialog antara korban dan pelaku. Hakim harus memastikan proses mediasi penal dilakukan secara transparan, adil, dan tidak merugikan pihak yang terlibat.
3. Kesepakatan Restoratif sebagai Pertimbangan Putusan
Jika korban dan pelaku mencapai kesepakatan, hakim dapat mempertimbangkan kesepakatan tersebut dalam menjatuhkan putusan, termasuk pemberian pidana bersyarat, pidana kerja sosial, atau bahkan pembebasan dengan syarat tertentu.
4. Monitoring dan Evaluasi
PERMA mengamanatkan adanya mekanisme monitoring terhadap pelaksanaan kesepakatan restoratif, sehingga pelaku dapat memenuhi kewajibannya secara konsisten.
Tantangan dalam Implementasi Restorative Justice
Meskipun restorative justice menawarkan banyak keunggulan, implementasinya tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satunya adalah minimnya pemahaman para penegak hukum mengenai konsep ini. Dalam beberapa kasus, restorative justice dipandang sebagai cara untuk “melunakkan” pelaku, sehingga muncul resistensi dari masyarakat yang mengharapkan hukuman berat bagi pelaku tindak pidana.
Selain itu, keberhasilan restorative justice sangat bergantung pada kesediaan korban untuk berpartisipasi dalam proses mediasi. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti kekerasan seksual, pendekatan ini bisa menjadi kontraproduktif jika tidak dikelola dengan hati-hati. Oleh karena itu, penerapan restorative justice memerlukan pelatihan dan sosialisasi yang intensif bagi para hakim, jaksa, dan polisi, serta panduan operasional yang jelas.
Mewujudkan Keadilan yang Berkeadilan
Restorative justice yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2024 adalah langkah besar menuju pembaharuan hukum pidana yang lebih humanis dan inklusif. Dengan mengedepankan pemulihan daripada penghukuman, pendekatan ini tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga membuka peluang bagi pelaku untuk bertanggung jawab dan memperbaiki diri.
Namun, agar eksistensi restorative justice benar-benar memberikan dampak positif, diperlukan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini secara konsisten dan bertanggung jawab. Dengan demikian, sistem peradilan pidana di Indonesia dapat menjadi instrumen yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan dan menciptakan harmoni dalam masyarakat. (*)