
Jakarta (buseronline.com) – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengadakan pertemuan dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin.
Pertemuan ini bertujuan untuk membahas isu-isu penting terkait tata kelola pertanahan di Indonesia, termasuk pemberian hak guna usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit dan penyelesaian sengketa tanah di sejumlah daerah.
Dalam pertemuan tersebut, Menteri Nusron menyampaikan laporan tentang perkembangan terkini dalam dunia pertanahan, dengan fokus pada prosedur pemberian hak atas tanah.
Ia menjelaskan bahwa laporan tersebut mencakup berbagai topik, termasuk hak guna usaha untuk perkebunan kelapa sawit serta tantangan terkait tata ruang dan penyelesaian sengketa.
“Saya menyampaikan laporan terkait berbagai hal yang berkaitan dengan dunia pertanahan dan tata ruang, khususnya mengenai perkembangan prosedur pemberian hak atas tanah, termasuk hak guna usaha untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia,” kata Menteri Nusron.
Salah satu isu utama yang dibahas adalah kasus dugaan penyalahgunaan sertifikat tanah di Bekasi dan Tangerang, yang terkait dengan kasus “pagar laut”.
Nusron memastikan bahwa seluruh data terkait kasus tersebut telah diserahkan, dan proses investigasi telah dilakukan. Beberapa orang yang terlibat dalam kasus di Bekasi dikabarkan akan diberhentikan setelah proses pemeriksaan selesai.
“Semua data terkait kasus ini sudah kami serahkan, baik yang di Tangerang maupun Bekasi. Di Bekasi, proses investigasi terhadap aparat kami sudah selesai, dan beberapa orang mungkin akan diberhentikan dalam waktu dekat,” tambah Menteri Nusron.
Terkait kasus di Tangerang, Nusron mengungkapkan bahwa 193 sertifikat yang diterbitkan di atas laut telah dibatalkan secara sukarela oleh pemegang sertifikat.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam kasus pemindahan peta bidang tanah ke laut, tindakan tersebut dilakukan oleh oknum di tingkat bawah, dengan 89 sertifikat yang terlibat.
Selain itu, Menteri Nusron juga menyoroti masalah tumpang tindih kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) akibat kesalahan administrasi pertanahan pada periode 1960-1987.
Menurut Nusron, banyak sertifikat yang diterbitkan pada masa tersebut tidak dilengkapi dengan peta bidang tanah yang jelas, yang menimbulkan permasalahan kepemilikan di kemudian hari.
“Masalah besar yang muncul pada periode 1960-1987 adalah banyak sertifikat yang diterbitkan tanpa peta bidang tanah yang jelas. Hanya ada gambar tanah, namun tidak ada alamat yang pasti,” jelasnya.
Isu-isu ini menunjukkan pentingnya perbaikan dalam sistem administrasi pertanahan di Indonesia untuk memastikan tata kelola pertanahan yang lebih baik dan menghindari potensi sengketa di masa depan. (R3)