Jakarta (buseronline.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa konflik kepentingan (conflict of interest/COI) merupakan akar dari banyak praktik korupsi di Indonesia. Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK, Ibnu Basuki Widodo, saat membuka Lokakarya Pencegahan Konflik Kepentingan di Sektor Publik Tahun 2025 di Jakarta, Selasa.
Menurut Ibnu, konflik kepentingan bukan sekadar persoalan etika birokrasi, melainkan pintu masuk bagi penyalahgunaan kekuasaan yang kerap luput dari perhatian.
“Konflik kepentingan adalah akar korupsi dan berbagai penyimpangan dalam administrasi publik. Bahkan, praktik seperti ‘bisik-bisik’ saat mutasi jabatan pun bisa tergolong COI,” ujarnya, seperti dilansir dari laman KPK.
Ibnu menyoroti lemahnya kesadaran akan potensi konflik kepentingan di kalangan aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat publik. Ia merujuk laporan Transparency International 2020 yang mencatat bahwa 60 persen kasus korupsi berakar dari konflik kepentingan.
Hal senada disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Rini Widyantini. Ia mengingatkan bahwa integritas tidak cukup diajarkan melalui aturan tertulis, tetapi harus menjadi bagian hidup sehari-hari birokrasi. “Konflik kepentingan itu seperti bayangan tidak selalu jelas, tapi nyata,” tegasnya.
Deputi Reformasi Birokrasi KemenPAN-RB, Erwan Agus Purwanto menambahkan bahwa pengelolaan COI masih jauh dari optimal.
Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK tahun 2023 menunjukkan bahwa 52 persen responden menyatakan konflik kepentingan masih sering terjadi di kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah.
Direktur Monitoring KPK, Aida Ratna Zulaiha menekankan perlunya dua pendekatan dalam mengelola COI, yaitu pendekatan berbasis aturan (compliance-based) dan berbasis nilai (value-based).
Ia menyebut selama ini instansi pemerintah cenderung hanya menekankan kepatuhan terhadap aturan, namun mengabaikan pembentukan budaya etik.
“Jika dibiarkan, konflik kepentingan akan berkembang menjadi pelanggaran etika dan berujung pada korupsi,” tegasnya.
Pemerintah melalui KemenPAN-RB telah menerbitkan PermenPAN-RB Nomor 17 Tahun 2024 yang menggantikan aturan sebelumnya, untuk memperkuat tata kelola konflik kepentingan. Regulasi ini menyesuaikan dengan standar internasional seperti OECD.
Sebagai bentuk implementasi, KPK menyusun tujuh langkah strategis, mulai dari penyusunan petunjuk teknis, penegakan sanksi, pemetaan konflik kepentingan pribadi, hingga penguatan peran APIP yang independen sebagai pengelola COI di masing-masing lembaga.
Lokakarya yang berlangsung selama dua hari ini digelar secara hybrid oleh Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi (ACLC) KPK dan Direktorat Monitoring, bekerja sama dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) serta Stranas PK.
Sebanyak 73 inspektur jenderal kementerian/lembaga turut serta secara daring bersama pemangku kepentingan lain.
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Rut Krüger Giverin menyatakan bahwa budaya integritas harus menjadi pilar utama tata kelola pemerintahan. “Di Norwegia, pengunduran diri karena konflik kepentingan adalah hal yang biasa ketika integritas dipertaruhkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Head of Office UNODC Indonesia, Erick van der Veen mengingatkan bahwa tidak semua konflik kepentingan bersifat ilegal, namun tetap membawa risiko besar dalam pengambilan keputusan publik.
KPK menekankan bahwa pencegahan konflik kepentingan harus menjadi norma kerja yang melekat dalam sistem birokrasi, bukan hanya kewajiban administratif.
“Seluruh keputusan publik harus lahir demi kepentingan rakyat, bukan kelompok atau pribadi,” tutup Ibnu Basuki Widodo. (R)