Jakarta (buseronline.com) – Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) melalui Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kiki Yulianti menyatakan bahwa sekaranglah waktunya perguruan tinggi Indonesia untuk meningkatkan mutunya sehingga dapat sejajar dengan perguruan tinggi dunia.
“Saat ini, perguruan tinggi di Indonesia sudah didominasi oleh yang berstandar baik dan bahkan sangat baik, sehingga sudah saatnya perguruan tinggi diberi otonomi sehingga bisa meningkatkan kualitasnya agar sejajar dengan perkembangan perguruan tinggi di dunia,” ujar Kiki Yuliati dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB), dengan tema Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi”.
Dari evaluasi yang dilakukan Kemendikbudristek diketahui bahwa ada cukup banyak hal yang sudah dicapai, tetapi masih ada juga yang belum dicapai. Untuk itu, arah kebijakan terkait peningkatan mutu pendidikan tinggi adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap perguruan tinggi untuk dapat berinovasi dengan standar nasional yang fleksibel dan tidak preskriptif.
“Memang masih ada (perguruan tinggi) yang kualitasnya kurang, tetapi sudah lebih banyak yang baik dan sangat baik. Justru untuk mendorong yang masih di bawah bisa naik, sedangkan yang sudah baik semakin bisa meningkatkan standarnya hingga ke level internasional. Standar nasional pendidikan tinggi seperti yang berlaku di internasional hanya mengunci bagian penting atau framework. Jadi sudah waktunya perguruan tinggi diberi otonomi,” ujar Kiki.
Kemendikbudristek, tambah Kiki, meyakini bahwa perguruan tinggi di Indonesia adalah lembaga yang mandiri dan dengan dukungan yang tepat akan mampu mengenali keunggulannya, serta mampu menentukan kebijakan dan program yang paling cocok untuk diterapkan di ruang lingkupnya. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat mengatur standarnya sendiri yang lebih fleksibel sehingga dapat memberikan layanan terbaik untuk masyarakat.
Dalam webinar tersebut hadir pula empat narasumber lain yakni Surateno, Wakil Direktur Bidang Akademik, Politeknik Negeri Jember (Polije) Maksum Ro’is Adin Saf, Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Politeknik Caltex Riau Chairul Hudaya, Rektor Universitas Teknologi Sumbawa (UTS), dan Beny Bandanadjaja, Direktur Akademik Pendidikan Tinggi Vokasi.
Sebagai pimpinan di perguruan tinggi, Chairul Hudaya, Maksum Ro’is, dan Surateno menyambut baik Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 ini.
“Kita merasa sangat terkejut sekaligus senang dan menyambut baik Permendikbudristek ini. Hal yang menjadi favorit saya ada dua hal, yang pertama adalah tentang penghapusan biaya akreditasi yang selama ini sangat membebani kami sebagai perguruan tinggi swasta. Yang kedua, yakni fleksibilitas pembagian waktu dalam proses pembelajaran yang dapat disesuaikan oleh setau universitas,” tutur Chairul Hudaya.
Maksum Ro’is pun mengungkapkan hal serupa bahwa pihak kampusnya sangat antusias terhadap pengurangan beban biaya, serta otonomi yang diberikan. “Hal yang paling saya soroti adalah pengurangan beban pembiayaan akreditasi. Lalu, berkat kepercayaan yang diberikan, kami pun bisa lebih leluasa dalam menentukan arah kebijakan perguruan tinggi kami yang disesuaikan dengan kebutuhan internal,” katanya gembira.
Kepercayaan dan keleluasaan perguruan tinggi dalam menentukan arah kebijakan pun dijelaskan Surateno secara lebih spesifik. “Kelincahan perguruan tinggi dalam melaksanakan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 akan lebih fleksibel mengingat regulasi yang ada dikemas dan memberikan ruang gerak kepada perguruan tinggi untuk melakukan improvisasi dan inovasi. Ini tentang bagaimana perguruan tinggi menghadirkan suatu sistem mutu yang sejalan dengan upaya-upaya pencapaian visi jangka panjangnya serta misi yang diemban,” ungkapnya.
Dirjen Pendidikan Vokasi juga mengingatkan bahwa Permendikbudristek Penjaminan Putu Pendidikan Tinggi ini mungkin terlihat lebih sederhana, tetap implementasinya cukup kompleks dan membutuhkan level berpikir yang mendalam. Dengan demikian, setiap perguruan tinggi diharapkan dapat cermat dalam menentukan fokusnya apakah itu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, atau pengabdian masyarakat.
Pada masa transisi kebijakan ini, perguruan tinggi diimbau untuk tidak terburu-buru untuk mengubah peraturan akademik yang berlaku, misalnya mengubah kurikulum. Dirjen Pendidikan Vokasi menyarankan pimpinan perguruan tinggi untuk dapat melakukan evaluasi diri secara komprehensif.
“Lakukan evaluasi diri sedalam mungkin, menyeluruh mungkin, dan sejujur mungkin. Hal ini diperlukan agar perguruan tinggi dapat menentukan diferesiansi dirinya dan menentukan fokusnya,” pesan Kiki.
“Lakukanlah penyesuaian dengan sebaik mungkin dalam jangka waktu yang kami berikan di masa transisi ini, yakni dua tahun,” imbuhnya.
Merespons imbauan dari Dirjen Pendidikan Vokasi itu, Rektor UTS pun menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang dipimpinnya.
“Setiap ada perubahan, maka kita harus beradaptasi atas perubahan tersebut. Saat ini kami melakukan banyak konsolidasi internal untuk mempersiapkan perubahan-perubahan yang terjadi. Di satu sisi kami senang, namun di sisi yang lain juga bukanlah hal yang mudah karena berarti kami harus menyiapkan berbagai hal secara matang. Karena kami diberikan keleluasaan, maka kami harus mengubah kurikulum dengan mempertimbangkan sikap, keterampilan umum, keterampilan khusus, dan pengetahuan yang disesuaikan dan kebutuhan dan potensi kami,” tutur Chairul Hudaya.
Maksum Ro’is juga menjelaskan pula hal-hal yang dilakukan perguruan tingginya. “Yang sudah kami lakukan adalah mempelajari Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 dengan cepat di beberapa pertemuan internal. Selebihnya kami mempersiapkan diri dengan pengelolaan berbasis sitem informasi yang ada untuk mempermudah kami. Selain itu, kami juga mengelola berbagai ekspektasi dan persepsi sehingga bisa menemukan hal yang paling tepat untuk perguruan tinggi kami,” katanya.
Berkaitan dengan ekspektasi dan persepsi publik atas peluncuran kebijakan transformasi standar nasional dan akreditasi pendidikan tinggi, muncul topik hangat yakni mengenai tidak diwajibkannya skripsi sebagai syarat kelulusan yang dinilai sebagian masyarakat bisa menurunkan kualitas sarjana berpikir analitis. Direktur Akademik Pendidikan Tinggi Vokasi, Beni Bandanadjaja menampik anggapan tersebut dan menjelaskan bahwa kemampuan analitis sebaiknya tidak hanya dibebankan pada mata kuliah skripsi atau tugas akhir, tetapi dengan perubahan yang ada saat ini, perguruan tinggi dapat berinovasi menciptakan pembelajaran yang lebih memicu keterampilan analitis mahasiswa di berbagai mata kuliah yang ada.
“Inti dari Tugas Akhir adalah memastikan bahwa mahasiswa memahami kompetensinya serta dapat mengimplementasikannya dengan baik, hingga ia dapat dinyatakan kompeten dan layak lulus. Maka dari itu, Permendikbudristek ini memberikan keleluasaan dalam Tugas Akhir kepada level sarjana dan sarjana terapan, dari yang hanya berbentuk skripsi, namun kali ini diberikan lebih banyak pilihan, misalnya membuat prototype, project based learning, kegiatan magang di industri, dan sebagainya,” tuturnya.
Beni pun menegaskan bahwa apapun bentuk Tugas Akhirnya, seluruh mahasiswa tetap harus membuat laporan yang dipertanggungjawabkan di hadapan dosen penguji. Selain itu, memberikan banyak pilihan Tugas Akhir pun akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses perkuliahan, serta menerapkan paradigma bahwa Tugas Akhir bukan satu-satunya fokus dalam kegiatan pembelajaran. “Kita harus mendorong mahasiswa untuk berpikir analitis dan problem solving di seluruh proses pembelajaran, bukan hanya pada Tugas Akhir” ungkapnya.
Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi diharapkan mengakselerasi peningkatan mutu pendidikan tinggi secara terencana dan berkelanjutan. Terobosan ini dinilai dapat memudahkan perguruan tinggi untuk lebih fokus dalam meningkatkan mutu dengan cara yang memerdekakan.
Pertama, perguruan tinggi memiliki ruang gerak lebih luas untuk melakukan diferensiasi misi. Kedua, beban administrasi dan finansial perguruan tinggi untuk akreditasi berkurang; dan yang ketiga, perguruan tinggi bisa lebih adaptif dan fokus pada peningkatan mutu Tridharma Perguruan Tinggi.
“Setiap perguruan tinggi akan saling belajar dan kementerian tidak akan serta merta mudah membandingkan dan memberi peringkat antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya karena setiap perguruan tinggi akan memiliki keunggulannya masing-masing. Namun walaupun demikian, dengan segala perubahan yang ada, saya yakin seluruh perguruan tinggi Indonesia pasti bisa menyesuaikan diri dengan baik,” tutur Kiki. (R)