Surabaya (buseronline.com) – Tingginya kebutuhan rumah tinggal dalam 10 tahun depan yang tidak mampu disediakan pemerintah, dinilai menjadi peluang untuk developer maupun pengembang. Namun, situasi ini juga menjadi peluang munculnya pungli, gratifikasi dan pemerasan yang berdasarkan fakta dilakukan oleh aparatur negara.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron saat menghadiri diskusi bertema “Tantangan Apersi di Era Digitalisasi Perijinan yang Semakin Kompleks”, yang digelar Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPD Apersi Jatim) di Hotel Sheraton Surabaya, seperti dilansir dari KPK.
“Kebutuhan rumah dalam 10 tahun depan bertambah 70 persen. Bila jumlah kepala keluarga 60 juta dan kebutuhan rumah bertambah 20 persen, maka akan ada kebutuhan 12 juta dalam 10 tahun ke depan. Artinya ada demand satu juta rumah setiap tahun,” lanjutnya.
Ghufron menambahkan salah sektor yang masih banyak suap dan gratifikasi adalah bidang pertanahan. Sebab, ketika bicara rumah di dalamnya ada sektor pertanahan.
“Dalam prosesnya bidang ini membutuhkan banyak perijinan dari negara yang tidak memiliki kepastian karena tindakan aparat yang terkait,” pungkas Ghufron.
Terdapat lima faktor penyebab terjadinya suap, pemerasan hingga korupsi. Diantaranya, ketidakpastian waktu dan biaya, ketidakjelasan syarat dan ketentuan prosedur, tidak transparan atau dilakukan secara tertutup, tidak akuntabel dan tidak adil.
Ghufron mengatakan dalam pemberantasan korupsi, KPK merasa tidak cukup dengan hanya melakukan kegiatan penindakan semata, namun juga perlunya tindakan pencegahan dengan perbaikan sistem.
“Sudah ada 2 Kakanwil pertanahan kami tangkap. Beberapa kepala kantor pertanahan Kabupaten/Kota sudah ditangkap. Tetapi itu tidak menyelesaikan masalah karena ekornya masih bergerak,” jelasnya.
Sementara itu, menanggapi keluhan sejumlah anggota Apersi terkait lambannya perijinan, adanya kewajiban menggunakan konsultan, hingga pemanggilan pengembang oleh penegak hukum karena adanya perubahan set plan, Ghufron menduga hal tersebut sengaja dilakukan supaya terjadi suap dan gratifikasi.
Namun, untuk melihat seperti apa ‘penyakit’ perizinan di berbagai daerah terutama Kabupaten Jember, KPK akan menurunkan tim langsung ke lokasi. Sebab menurutnya, proses izin yang logis masuk dalam perundang-undangan, sementara izin yang tidak logis, tidak memiliki cantolan hukum.
“KPK bukan menakut-nakuti karena fasos dan fasum memang harus dikelola pemda, karena fasum laku dijual. Untuk bisa menjualnya tentu ada kongkalikong dengan pemda,” tutup Nurul Ghufron.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak yang hadir mewakili gubernur mengakui proses perijinan yang masih berbelit-belit dalam birokrasi. Bahkan, Emil menyebut digitalisasi perizinan yang coba dilakukan justru tidak bisa berjalan karena tidak mempertimbangkan bisnis proses.
“Yang jadi kendala juga salah satunya ketika pemerintah tidak transparan soal perizinan. Orang akan jadi bertanya-tanya, apakah kurang koneksi dengan pejabat, kurang ‘sopan’. Hal-hal seperti ini yang perlu kita benahi dan lakukan introspeksi. Dari sini kita harapkan resume pertemuan ini bisa kita dorong bersama dengan KPK ke Dinas Penanaman Modal lewat kerangka peraturan daerah, peraturan gubernur, serta eksekusi peraturan lainnya,” kata Emil.
Sementara Direktur Rumah Umum dan Komersial Dirjen Perumahan, Fitra Nur dan staff Dirjen Cipta karya mengimbau pengembang dan developer untuk mengikuti aturan yang sudah ada dalam proses perizinan hingga pembangunan perumahan, sehingga pungli dan pemerasan bisa dihindari. (R)