26 C
Medan
Jumat, September 20, 2024

BPJS Kesehatan Ditanya Presiden Jokowi Dua Kali Terkait Kenaikan Iuran

Berita HariIni

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Jakarta (buseronline.com) – Kabar kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencuat di tengah kekhawatiran menipisnya surplus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti bercerita Presiden RI, Joko Widodo sempat menanyakan soal kemungkinan diperlukannya kenaikan iuran BPJS, bahkan hingga dua kali.

“Ini Pak Jokowi sebagai contoh sudah nanya kepada saya, ‘Sudah siap atau perlu dinaikkan nggak?’. Ya saya jawab, ‘kalau dinaikkan yang lebih bagus’. Ini dia nanya dua kali, di Jawa Tengah dan Tebingtinggi, Provinsi Sumut,” ucap Prof Ghufron saat memberikan keterangan kepada media.

Prof Ghufron menyebut kenaikan iuran sebetulnya bisa mendorong berbagai aspek perbaikan layanan kesehatan secara signifikan di masa mendatang.

“Yang jelas BPJS Kesehatan lebih senang kalau iuran naik. Kenapa? Bisa terhindar dari defisit, bisa bayar rumah sakit, kualitasnya lebih meningkat lagi,” lanjut Prof Ghufron.

Namun, kebijakan kenaikan iuran ini tentu perlu diperhitungkan lebih jauh. Terlebih, konsep utama asuransi sosial BPJS Kesehatan adalah berbasis asas gotong royong.

Ia menekankan banyak masyarakat yang memang belum mampu membayar iuran secara mandiri.

“Kita juga paham, kemampuan masyarakat terbatas. Jadi memang yang kaya itu harusnya bayar iuran lebih banyak, di tempat kita masih ya belum terlalu begitu. Ada tapi belum proporsional,” lanjut Prof Ghufron.

Meski begitu, di satu sisi, kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukan satu-satunya jalan untuk mengatasi risiko potensi defisit berjalan.

Berbagai strategi bisa dilakukan termasuk upaya cost sharing.

“Kita punya banyak cara. Ilmu saya belum dikeluarkan semua. Kenaikan iuran bukan satu-satunya strategi, cuma kalau iuran dinaikkan ya kita senang,” ucap Prof Ghufron.

“Jadi kita cari solusi yang pas,” lanjutnya.

Besaran klaim BPJS Kesehatan di satu tahun terakhir juga terpantau meningkat.

Menurutnya, hal ini dilatarbelakangi peningkatan pengguna BPJS Kesehatan di masyarakat.

“Kepercayaan masyarakat yang meningkat tajam, masyarakat yang dulu tidak mau pakai, sekarang pakai,” lanjut Prof Ghufron.

“Tahun ini ada tambahan Rp45 triliun. Tambahan saja Rp45 triliun belum yang dibayarkan,” sambung Prof Ghufron.

Besaran klaim di 2022 sebanyak Rp113.472.538, sementara di 2023 meningkat menjadi Rp158.852.391.

Soal strategi lain, Prof Ghufron juga menyinggung kebijakan banyak negara yang melakukan cost sharing.

Prof Ghufron menyebut diperlukan solusi yang ideal untuk menjawab risiko defisit berjalan.

Namun, hal ini juga memerlukan pertimbangan lebih lanjut dari kesiapan masyarakat terkait besarannya.

“Warga Indonesia yang nunggak kan kena denda saja, langsung teriak-teriak,” kata Prof Ghufron.

Menurutnya, ada banyak strategi yang bisa dilakukan untuk mencegah risiko potensi defisit berjalan.

Salah satu yang juga disorot adalah kebijakan di hampir seluruh negara yang melakukan cost sharing alias berbagi biaya antara BPJS Kesehatan dengan pasien atau keluarganya.

“Coba liat di Australia, setiap beli ada obat ada copayment, di Jepang setiap RS 30 persen, di Korea bayar, range-nya harga 20 hingga 30 persen,” jelas Prof Ghufron.

“Kita sampaikan laporan persentase, kalau Presiden lama mau naikkan ya bagus-bagus saja kita lebih senang, cuma masyarakatnya lebih senang atau nggak? Itu kan persoalan lain,” tutup Prof Ghufron. (R3)

Berita Lainnya

Berita Terbaru