26 C
Medan
Jumat, November 22, 2024

Pentingnya Kebudayaan Lokal dalam Pengelolaan Air Global

Berita HariIni

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Bali (buseronline.com) – Diskusi dan pameran tentang Sistem Subak dan Jalur Rempah digelar selama perhelatan World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. Diskusi diselenggarakan di Bali International Convention Centre pada 21 Mei 2024 sementara pameran diselenggarakan di Museum Pasifika pada 21-25 Mei 2024.

Diskusi dan pameran ini menghadirkan perspektif budaya terhadap tema utama World Water Forum, yakni “air untuk kesejahteraan bersama.”

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan pentingnya percakapan transdisipliner dalam menjawab tantangan pengelolaan sumber air sekarang ini.

Dalam United Nation World Water Development Report 2024 dikatakan 2,2 miliar orang tidak punya akses terhadap air minum pada 2022. Ada 1,4 miliar orang terdampak kekeringan pada 2002-2021, dan 10% migrasi global antara 1970-2000 itu karena terkait kekurangan air.

“Sains dan teknologi modern tidak cukup untuk menjawab berbagai masalah itu. Justru sebagian masalahnya timbul karena sains dan teknologi modern digunakan secara tidak bijak,” ujar Hilmar.

Ia pun menambahkan, kita memiliki khazanah pengetahuan lokal yang berpijak pada kelestarian dan keberlanjutan, yang jika dikombinasi dengan sains dan teknologi bisa memberikan solusi yang konkret.

Wakil Direktur Jenderal UNESCO, Xing Qu, hadir memberikan sambutan dalam kegiatan itu. Percakapan transdisipliner seperti ini sudah difasilitasi UNESCO dalam program Local and Indigenous Knowledge Systems (LINKS). Xing Qu menyambut baik inisiatif dari Indonesia untuk meneruskan percakapan itu dengan berbagai pemangku kepentingan lokal.

Hadir pula dalam diskusi itu Pengelola Pura Ulun Danau Batur dan juga pengajar di Universitas Udayana, I Ketut Eriadi Ariana. Ia menjelaskan sejarah dan perkembangan sistem subak di Bali yang merupakan sistem pengelolaan air yang sangat penting bagi orang Bali. Di jantung sistem itu adalah filosofi Tri Hita Karana, yakni harmoni antara unsur parahyangan (Tuhan), pawongan (manusia), dan palemahan (lingkungan).

Indonesia berada pada jalur rempah dunia, yakni jalur pelayaran tradisional yang membentang antara kawasan Pasifik di sebelah timur sampai pantai timur Afrika di sebelah barat. Selama lebih dari seribu tahun masyarakat di sepanjang jalur ini berinteraksi, memproduksi warisan pengetahuan yang luar biasa terkait pengelolaan kehidupan yang terkait dengan air.

Pameran yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan bekerja sama dengan Museum Pasifika menghadirkan narasi Jalur Rempah ini. “Ada khazanah pengetahuan yang luar biasa di dalamnya, yang bisa menjadi inspirasi bagi kita hari ini,” kata Hilmar.

“Dengan pameran ini kita bisa melihat betapa pentingnya kebudayaan dalam sistem global kita sejak lama,” ujarnya. (R)

Berita Lainnya

Berita Terbaru