Jakarta (buseronline.com) – Sebagai upaya memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery) dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam Arah Kebijakan tahun 2024 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satunya menyebut optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara melalui penanganan perkara dalam bentuk case building, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan tindak pidana dengan subyek hukum korporasi.
Selama ini KPK menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/ PUU-X/2012 sebagai landasan memperoleh hasil penghitungan kerugian keuangan negara saat menuntut subyek hukum yang dibawa ke meja persidangan. Namun dalam praktiknya, kerap menemui hambatan birokrasi yang mengakibatkan proses perhitungan kerugian negara akibat korupsi dari lembaga yang berwenang memakan waktu yang cukup lama.
Jaksa Penuntut Umum KPK Arif Suhermanto mengatakan, alternatif yang dapat menjadi pilihan bagi KPK yakni dengan mendukung peran aktif dari Unit Akuntansi Forensik (forensic accounting) yang berada di Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi. Unit ini memiliki tugas dan kewenangan melakukan penghitungan kerugian negara dan hasilnya dapat digunakan untuk kebutuhan pencegahan, penindakan maupun peradilan.
“Akuntansi forensik pun sempat digunakan KPK dalam penuntutan perkara korupsi pengadaan helikopter angkut AW 101 di TNI AU Tahun 2016 dengan Terdakwa Irfan Kurnia Saleh. Nilai kerugian keuangan negara dari kasus ini mencapai Rp738, 9 miliar hasil olahan data dan metode dari Unit Akuntansi Forensik,” kata Arif, seperti dilansir dari Humas KPK.
Perkara lain yang juga memanfaatkan hasil penghitungan kerugian negara oleh Unit Akuntansi Forensik yakni korupsi pengadaan monitoring satelit Badan Keamanan Laut TA 2016 dengan Terdakwa Korporasi PT Merial Esa. Selain itu, korupsi pengadaan Quaside Container Crane (QCC) pada PT Pelindo II Tahun 2010 dengan Terdakwa RJ Lino juga menggunakan metode ini. Ketiga perkara ini pun telah berkekuatan hukum tetap.
Sebagai bentuk dukungan penuhnya, penulis memberikan masukan agar dibuat keputusan pimpinan dalam bentuk surat edaran yang berkaitan dengan penguatan dan pemanfaatan forensik akuntansi, termasuk penyusunan naskah akademik dalam penguatan kelembagaan. Hal ini pun telah banyak mendapatkan persetujuan dari para Stakeholders KPK.
Ia berharap, fungsi akuntansi forensik di KPK dapat lebih optimal untuk mendukung pemberantasan korupsi yang efektif. “Metode perhitungan kerugian keuangan negara melalui akuntansi forensik dalam penyelesaian perkara, dapat memaksimalkan pemulihan kerugian keuangan negara akibat korupsi,” ungkap Arif. (R)