Medan (buseronline.com) – Politik di Indonesia semakin mahal, sebuah fenomena yang menurut akademisi Universitas Sumatera Utara, Roy Fachraby Ginting, SH, M.Kn., tidak terlepas dari peran elit politik. Dalam pernyataannya di Medan pada Sabtu (31/8), Roy mengungkapkan bahwa perjuangan pasca reformasi justru memperparah biaya dan ongkos politik, seiring dengan maraknya perilaku politik transaksional.
Roy menyoroti bagaimana pasca reformasi, elit politik semakin menunjukkan kekuasaan mereka dengan memajukan anggota keluarga atau kerabat dekat dalam struktur kepemimpinan partai. “Elit politik di Indonesia dengan vulgar menunjukkan kepemilikan partai, di mana ketua umum secara terbuka mengangkat anak, menantu, atau keluarga terdekat sebagai pimpinan atau pengurus partai,” ujar Roy.
Ia menambahkan, praktik politik transaksional yang tumbuh subur pasca reformasi telah melahirkan elit politik yang korup. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, dibandingkan dengan kepentingan publik. “Perilaku ini berlandaskan pada nilai-nilai transaksional yang hanya fokus pada keuntungan individu dan kelompok,” katanya.
Biaya politik yang semakin tinggi, menurut Roy, juga dipicu oleh kesadaran masyarakat yang semakin meningkat mengenai nilai suara mereka. “Masyarakat semakin menyadari bahwa suara mereka hanya berharga di saat Pemilu, dan setelah itu elit politik tidak akan peduli lagi,” ujarnya. Kesadaran ini kemudian mendorong praktik jual beli suara yang makin memperparah tingginya biaya politik.
Roy juga mengkritisi pemilihan kepala daerah serentak yang akan diadakan pada tahun 2024, yang menurutnya masih sarat dengan politik transaksional. “Barter politik, politik biaya tinggi, dan politik uang masih mendominasi perilaku memilih,” katanya.
Menurut Roy, perilaku politik transaksional ini tidak hanya mencoreng tujuan demokrasi tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pejabat yang terpilih, yang kemudian cenderung korup. “Mahalnya biaya politik memperbesar kemungkinan tumbuhnya perilaku koruptif setelah kandidat tersebut terpilih,” tegasnya.
Roy juga menyebutkan bahwa tingginya biaya politik memiliki dampak ekonomi yang signifikan. “Biaya tinggi pada politik menyebabkan ekonomi biaya tinggi, yang pada akhirnya meningkatkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan memerlukan biaya lebih banyak untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dibandingkan negara-negara lain,” ungkapnya.
Roy menyimpulkan bahwa mahalnya biaya politik di Indonesia merupakan salah satu faktor utama yang menyumbang kemunduran demokrasi di negeri ini. (P2)