Jakarta (buseronline.com) – Resistansi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global.
Mikroorganisme yang mampu bertahan terhadap terapi antimikroba berisiko memperparah penyakit, meningkatkan angka kematian, dan membebani sistem kesehatan secara signifikan.
Pada tahun 2019, AMR dikaitkan dengan hampir 5 juta kematian di seluruh dunia, termasuk 1,27 juta kematian yang secara langsung disebabkan oleh resistansi ini.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan dr Azhar Jaya menyatakan bahwa resistansi antimikroba adalah ancaman nyata yang terus meningkat, termasuk di Indonesia.
Dalam Seminar Sehari bertajuk “Collaborative and Participatory Action in Tackling AMR” di Auditorium Siwabessy, Kamis, ia menyoroti dampak serius AMR terhadap kesehatan masyarakat.
“Resistansi antimikroba menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan pembiayaan kesehatan. Hal ini menjadi tantangan besar dalam menjaga mutu serta keselamatan pasien,” ujar dr Azhar.
Indonesia menghadapi sejumlah tantangan terkait AMR, salah satunya adalah tingginya angka penggunaan antibiotik tanpa resep.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dr L Rizka Andalucia Apt mengungkapkan bahwa 41% masyarakat yang menggunakan antibiotik oral mendapatkan obat tersebut tanpa resep dokter. Antibiotik bahkan dapat diperoleh dari warung, platform daring, atau tempat tidak resmi lainnya.
“Kondisi ini memperburuk resistansi antimikroba. Kami perlu menertibkan pendistribusian antimikroba, terutama di apotek, dan meningkatkan pengawasan,” ungkapnya.
Selain itu, resistansi obat pada penyakit seperti tuberkulosis (TB) semakin meningkat. Angka kematian akibat TB resistansi obat dilaporkan mencapai 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan kasus TB sensitif obat.
Resistansi serupa juga terjadi pada hewan ternak seperti ayam, babi, dan sapi, sehingga memerlukan pengawasan lintas sektor.
Untuk mengatasi AMR, pemerintah berkomitmen pada berbagai upaya, seperti:
1. Penguatan sistem surveilans AMR untuk memantau penyebaran resistansi.
2. Pengendalian penggunaan antimikroba melalui regulasi dan edukasi.
3. Pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan dan masyarakat.
4. Edukasi serta promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Inovasi dan penelitian guna mencari solusi yang efektif.
“Kami mengajak semua pihak, mulai dari tenaga kesehatan, akademisi, industri farmasi, hingga masyarakat, untuk bersama mengendalikan resistansi antimikroba,” tambah dr Azhar.
Sebagai bagian dari Pekan Kesadaran Resistansi Antimikroba (World Antimicrobial Awareness Week/WAAW) 2024, Kemenkes mengusung tema “Educate, Advocate, Act Now” yang bertujuan meningkatkan kesadaran global, melakukan advokasi, dan mendorong aksi nyata dalam mengatasi AMR.
Rizka menegaskan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk memastikan akses merata ke pelayanan kefarmasian yang berkualitas. “Melalui kolaborasi dan komitmen bersama, kita dapat mewujudkan penggunaan antimikroba yang bijak demi masa depan kesehatan Indonesia yang lebih baik,” tutupnya.
AMR tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata. Tanpa langkah konkret, risiko AMR dapat menimpa siapa saja, termasuk keluarga dan orang terdekat. Pemerintah mengajak masyarakat untuk meningkatkan hygiene, sanitasi, dan menggunakan antibiotik secara bijak sebagai langkah sederhana mencegah penyebaran resistansi antimikroba.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk mitra pembangunan, organisasi masyarakat, influencer, dan media, Kemenkes berharap Indonesia dapat memperkuat langkah menuju penanganan AMR yang lebih baik. (R)