Jakarta (buseronline.com) – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tengah mengintensifkan upaya penemuan kasus tuberkulosis (TBC) melalui optimalisasi deteksi dini atau skrining. Program ini sejalan dengan inisiatif “Quick Win” penanganan TBC yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Salah satu fokus utama dalam upaya ini adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, yang dianggap memiliki risiko lebih besar dalam penyebaran TBC.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit (Ditjen P2P), dr Yudhi Pramono MARS menjelaskan bahwa daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi memiliki ruang terbatas yang meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit melalui udara, seperti TBC yang dapat menular melalui batuk atau bersin.
Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta antara 2017 hingga 2019 juga menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berhubungan erat dengan tingginya angka kejadian TBC di DKI Jakarta.
Untuk mendukung deteksi lebih dini, metode PCR (Polymerase Chain Reaction) kini menjadi alat utama dalam pemeriksaan TBC. Metode ini mampu mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis dengan sensitivitas tinggi dan dapat mendeteksi resistensi bakteri yang tidak bisa diidentifikasi melalui mikroskopis biasa.
Di Indonesia, Tes Cepat Molekuler (TCM), yang berbasis PCR, telah diterapkan sebagai alat diagnostik utama dengan lebih dari 2.400 unit TCM tersebar di seluruh provinsi. Namun, tantangan muncul karena tidak semua pasien dapat mengeluarkan dahak yang diperlukan untuk pengujian.
Untuk mengatasi kendala ini, Kemenkes RI sedang melakukan studi validasi alat diagnostik PCR menggunakan spesimen air liur (tongue swab), yang diperkirakan akan selesai pada Februari 2025. Penelitian ini dilakukan oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), dengan dukungan dari Bill & Melinda Gates Foundation.
Jika berhasil, inovasi ini dapat menjadi solusi yang lebih mudah bagi pasien yang kesulitan memberikan sampel dahak. Melalui program Quick Win Kesehatan, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan angka kejadian TBC dan mempercepat deteksi dini.
Beberapa langkah yang diambil antara lain optimalisasi skrining di daerah padat penduduk, penguatan layanan diagnostik dengan teknologi PCR dan TCM, serta akselerasi penelitian diagnosa berbasis air liur. Selain itu, investigasi kontak secara agresif juga dilakukan dengan memeriksa minimal 8 orang untuk setiap kasus TBC yang ditemukan.
Pemerintah Indonesia menargetkan eliminasi TBC pada tahun 2030, sejalan dengan target global dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan dukungan penuh dari tenaga kesehatan, kader, serta masyarakat, Indonesia semakin optimis dapat menekan angka kejadian TBC dalam waktu dekat. (R)