Jakarta (buseronline.com) – Pemerintah Indonesia terus mempercepat langkah eliminasi Penyakit Tropis Terabaikan (Neglected Tropical Diseases/NTDs), khususnya kusta dan filariasis, dengan target bebas dari kedua penyakit ini pada tahun 2030.
Melalui strategi deteksi dini, pengobatan massal, serta kolaborasi lintas sektor, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengakselerasi berbagai program pengendalian, pencegahan, dan edukasi di wilayah endemis.
Dalam temu media daring, Direktur Penyakit Menular dr Ina Agustina mengungkapkan bahwa meskipun prevalensi kusta menurun sejak 1981, Indonesia masih menempati peringkat ketiga dunia dalam jumlah kasus baru kusta pada tahun 2023, dengan 12.798 kasus baru.
Beberapa provinsi yang mencatat jumlah kasus tertinggi antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Papua.
Selain kusta, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam mengeliminasi filariasis atau penyakit kaki gajah.
Menurut Prof Dr Taniawati Supali dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (spesies terakhir hanya ditemukan di Indonesia dan Timor Leste).
“Filariasis adalah penyebab kecacatan terbesar kedua di dunia setelah gangguan jiwa, dengan dampak ekonomi yang besar bagi penderitanya,” ujar Prof Taniawati.
Ia menambahkan bahwa banyak individu yang sudah terinfeksi tetapi belum menunjukkan gejala, karena infeksi membutuhkan waktu 5 hingga 8 tahun untuk berkembang menjadi kondisi yang terlihat.
Untuk mencapai target eliminasi kusta dan filariasis pada 2030, pemerintah telah menetapkan lima strategi utama, yaitu:
1. Deteksi dini dan pengobatan cepat, termasuk Multi-Drug Therapy (MDT) untuk kusta dan terapi tiga obat (IDA therapy) untuk filariasis.
2. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) di daerah dengan kasus tinggi.
3. Surveilans aktif guna menemukan kasus lebih cepat.
4. Edukasi dan promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat serta mengurangi stigma terhadap penderita.
5. Kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan sektor peternakan dan lingkungan, mengingat filariasis juga dapat ditularkan melalui kera, kucing, dan anjing.
Menurut Prof Linuwih dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, stigma sosial masih menjadi hambatan utama dalam eliminasi kusta. “Banyak pasien yang sudah sembuh masih mengalami diskriminasi sosial, sehingga mereka enggan mencari pengobatan sejak dini,” ujarnya.
Para ahli menegaskan bahwa keberhasilan eliminasi kusta dan filariasis tidak bisa hanya bergantung pada tenaga kesehatan. Dukungan masyarakat, pemimpin daerah, tokoh agama, dan media sangat dibutuhkan untuk mempercepat pencapaian target ini.
Dengan strategi yang lebih inovatif dan kolaborasi erat dari berbagai pihak, Indonesia optimistis dapat mencapai target bebas kusta dan filariasis pada tahun 2030, sehingga tidak ada lagi penderita yang mengalami kecacatan, diskriminasi, atau dampak ekonomi akibat penyakit ini. (R)